Senin, 29 April 2013

Mengintip Kecantikan Indonesia dalam The Mirror Never Lies



Ada pertanyaan yang kadang bergema di benakku: “Apakah aku sudah mengenal Indonesia? Seberapa kenal?” Pertanyaan ini belum menemukan jawaban yang pasti. Entahlah. Mau dijawab sudah kenal, tapi kok rasanya belum kenal-kenal amat. Tapi kalau dijawab belum, kok rasanya keterlaluan. Bagaimanapun, sebagai orang Jawa yang lahir dan besar di Pulau Jawa, aku merasa hidupku ya seputar Jawa. Ketika suatu kali aku berkunjung ke Pulau Bali dan Belitung, sempat terbersit dalam pikiranku, “Eh, ini bagian dari Indonesia juga ya? Ternyata Indonesia itu bukan cuma Jawa dan Jawa dan Jawa.” (Ya iyalah… baru sadar ya? Kasihan deh aku. Hahaha.) Melihat Indonesia dari pulau lain selalu memberikan kesan lain dalam diriku tentang Indonesia. Kesan itu ya soal keindahannya, soal keragaman budayanya, soal Indonesia itu sendiri.





Kemarin aku mendapat sekilas perenungan untuk menjawab pertanyaan di atas dari film yang kutonton. Kemarin aku dan suamiku nonton film, judulnya The Mirror Never Lies (Laut Bercermin). Pertama kali melihat poster film Indonesia itu, aku sebenarnya tak ingin terlalu berharap. Entah kenapa ya, kalau ada label film Indonesia, kok aku belakangan agak tak yakin bakal bagus. Apalagi belakangan yang paling mendominasi adalah film pocong dan kawan-kawannya.

Oke, jadi bagaimana film tersebut?
“Film ini settingnya di Wakatobi,” kata suamiku.
Eh, Wakatobi itu di mana sih? Rasanya pernah dengar. Ketahuan kan kalau pelajaran geografiku buruk? :D



“Berkisah tentang suku Bajo,” lanjutnya. Apa itu suku Bajo? Aku memang pernah membeli buku "Orang Bajo" yang mengisahkan perjalanan seorang antropolog Perancis yang sempat menghabiskan waktu beberapa bulan bersama orang Bajo. Tetapi, aku baru membaca sekilas buku itu dan belum kubaca lebih detail. Niatnya sebelum nonton ingin membaca buku itu dulu, tetapi tumpukan baju kotor lebih memaksaku untuk mencuci daripada melewatkan waktu membaca buku.
Lanjut dulu saja deh.

Film itu menceritakan kisah seorang gadis pra-remaja bernama Pakis (Gita Lovalista). Ayahnya hilang di lautan. Ia sekarang tinggal berdua saja dengan ibunya, Tayung (Atiqah Hasiolan), yang kini menjadi tulang punggung keluarga. Tayung dan Pakis sering berselisih. Masalahnya, Pakis masih berharap ayahnya akan pulang sembari terus menghidupkan kenangan dengan sang ayah, sedangkan Tayung berusaha untuk realistis dan berusaha menerima bahwa suaminya memang sudah tiada. Bagaimanapun perilaku Pakis yang sering berkutat dengan mirror  pemberian ayahnya dan beberapa kali pergi ke paranormal untuk menanyakan keberadaan sang ayah, membuat Tayung sedih. Tetapi dia berusaha menyembunyikan kedukaannya itu lalu ia mulai memakai pupur putih di wajahnya.
Pakis berteman dekat dengan Lubo (Eko), seorang bocah lelaki teman sekelasnya. Menurutku dia menjadi penyeimbang karakter Pakis yang sering sedih. Bocah itu ceria dan sering membantu Pakis.

Suatu hari, datanglah Tudo (Reza Rahadian), seorang pemuda Jakarta yang meneliti lumba-lumba. Awalnya Pakis kurang suka dengan Tudo. Tetapi lama-lama Pakis sering membantu Tudo juga–tentunya dengan Lubo dan salah seorang kawannya yang suka bernyanyi Kutta (Inal). Kisah film itu berkembang di sekitar para tokoh itu: Pakis, Tayung, Tudo, dan Lubo.


Bagiku yang menarik dari film itu adalah gambaran tentang suku Bajo yang kental. Kekentalan itu tampak dari bahasa yang dipakai, yaitu bahasa orang Bajo. Jangan khawatir, ada terjemahan bahasa Indonesianya kok. Lalu ditambah lagi, pengambilan gambar cukup detail tentang keseharian masyarakat Bajo (tentang kasuami, pasar tempat mereka berjual-beli, kaum lelaki yang mencari ikan, dll) dan upacara adat mereka (upacara perjodohan serta penguburan). Dan yang paling keren adalah gambar-gambar pemandangan alam di sana. Cantik sekali.

Hal lain yang menarik adalah tokoh utama film itu Pakis, dimainkan oleh gadis asli suku Bajo, Gita Lovalista. Aktingnya tidak canggung. Selain itu, Lubo, yang dimainkan oleh Eko juga anak suku Bajo. Kalau diminta menilai akting antara Eko dan Gita, bagiku lebih asyik si Eko. Yang lucu adalah adegan ketika Eko memberi makan burung camar peliharaannya. Lucu banget. Dia mengulur-ulur memberi makan, dan kepala si camar ikut bergerak mengikuti gerakan tangan Lubo. Hihihi, jadi geli sendiri kalau ingat.

Menurutku, film ini cocok untuk mempromosikan pariwisata daerah Sulawesi Tenggara, terutama soal suku Bajo dan daerah Wakatobi. Gambar-gambarnya di film itu amat menawan: langit yang biru, gumpalan awan yang seperti kapas, laut yang jernih, pemandangan bawah laut yang aduuuh … keren banget deh!!! Saat menyaksikan itu aku jadi bangga jadi orang Indonesia. Indonesia memang cantik pemandangan alamnya.
Kalau mau mengulik kekurangan film ini, yaitu ceritanya kurang kuatnya dalam menarik emosi penonton. Aku termasuk penonton yang cengeng, yang kalau ada adegan mengharukan sedikiiit saja, pasti mataku sudah panas. Tetapi kemarin aku tak sampai keluar bioskop dengan mata merah. Hehehe. Tetapi yang aku suka adalah, film ini tidak menggurui. Jadi, orang-orang yang sering mengharapkan bisa menarik pelajaran moral dari film (eh, ini penting ya?), kurasa akan kecewa.

Pra produksi film ini memakan waktu 3 tahun. Film ini disutradarai oleh seorang gadis berumur 25 tahun, Kamila Andini, yang kurasa berhasil dimemetik pelajaran dari sang ayah, Garin Nugroho. Sebagai film pertama hasil penyutradaraannya, film ini bagus banget. Dan, yah, film ini menggambarkan Indonesia dari sisi lain. Kurasa, bangsa ini memerlukan film-film serupa, yaitu film yang menunjukkan ceruk-ceruk cantik dari Indonesia. Semoga ke depan, film horor dan film cinta-cintaan tak bermutu tidak mendominasi bioskop di Indonesia.


ini mirror yang asli saya ambil dari www.oden-houseware.com

Sumber: http://blognyakrismariana.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar